Prolog



Malam telah cukup larut waktu aku mengontak coach Robert lewat whatsapp. Kadang, meski aku selalu berusaha terlihat bersemangat, bergembira, dan easy going, adakalanya jika sedang lelah, segala pikiran positif rasanya menguap entah kemana. Aku pernah mendengar bahwa malam bisa sangat membahayakan akal dan pikiran, dan itu benar.

Dipi : Babang...
Coach : Yaya
Dipi : Adakah dalam hatimu... meski sedikit saja.. bahwa kau percaya aku bisa lebih baik lagi pencapainnya dalam panahan?
Coach : "Waduh nanyanya
Dipi : Atau kemampuanku memang segini saja?
Coach : Percayalah pada kemampuanmu, Nak. Bukan dari kata orang.
Dipi : Baiklah. aku percaya padamu. Percaya bahwa aku percaya pada diriku sendiri.
Coach : Karena semua kan kembali pada ketekunan berlatih. Nah, pertanyaannya : ada pengorbanan tidak untuk mencapai itu. Pengorbanan dan usaha. Kalo cuma aku yang percaya, tapi kau nya tidak percaya, apa hasilnya?
Kalo aku percaya, kau tak pernah berlatih, apa hasilnya?
Dipi : Betul, dipi setuju. Good night, coach.
Coach : Nite.

Aku suka jalan pikirannya coach, dia memang bukan coach yang mudah memberikan pujian. Tapi aku sangat menghormati dan mengagumi prestasinya di panahan. Kasusku beda katanya. Makin ditekan dan ditantang, hasilnya makin baik buat Dipi, demikian menurut coach. Yah, dalam hal ini coach benar. Aku memang mendengarkan banyak saran dan arahan. Tapi diragukan kemampuan adalah suatu hal yang kadang sangat mengiritasi perasaan.

Perlahan aku buka pintu kamar, sejenak kupandangi suami yang sedang asyik bermain game kesukaannya, lalu aku duduk di sisinya.
"Cinta, apakah menurutmu aku bisa menulis buku?"
'Ya," jawab suamiku sambil tetap memandangi layar komputer.
"Jangan katakan ya kalau hanya untuk menyenangkan hati. Tapi pertimbangkan dari sudut kemampuanku yang kau tau. Kutanya lagi ya, apakah mnurutmu aku bisa menulis buku yang bagus?"
"Ya," kali ini jawabannya bahkan terdengar lebih tegas.

Suamiku membalikkan badannya dan melihat wajahku, lalu dia tersenyum. Serta merta perasaan hangat itu mengalir di dalam hati. Bukan karena jawaban "iya" yang dia berikan, karena yang paling tahu kemampuan bagiku tetap lah diriku sendiri, tapi cara dia tersenyum, ekspresinya yang tulus dan siap mendukung, sangat menyentuh hati.

Malam itu aku tahu, aku siap untuk ini semua.

.........................................................

Aku mengenal coach Robert Stevan sudah hampir 3 tahun. Dia public figure, magician, light painter, yang mukanya pernah berseliweran di televisi swasta di beberapa acara. Hanya sayangnya aku yang tidak doyan nonton televisi ini jelas tidak mengenali siapa Robert Stevan saat pertama kali bertemu dengannya di Public Speaking Academy di Bandung. Instruktur yang "dingin", demikian kesanku pertama kali saat berinteraksi dengannya.

Panahan adalah dunia yang mendekatkan kami satu sama lain. Kami bisa mengobrol dan bermain panahan berjam-jam lamanya tanpa merasa bosan. Atau, mungkin Robert bosan, tapi aku tidak, entahlah, dalam hal ini aku hanya mengambil kesimpulan.

Karena ketertarikanku yang besar pada panahan ini lah maka Robert akhirnya lambat laun mengajariku beberapa teknik bermain panah. Seiring berjalannya waktu, aku akhirnya terbiasa memanggil dan menganggapnya sebagai coach. Kami pernah berdebat tentang awal mula Robert menjadi pelatih panahanku, sebenarnya Robert yang menawariku untuk dilatih, atau aku yang memintanya untuk menjadi pelatih. Biasanya aku sengaja menjawab bahwa dia lah yang memintaku untuk dilatih olehnya.

Tentu saja aku menjawab seperti itu karena ingin membuatnya kesal. Makin banyak argumentasi yang ia sampaikan, rasanya hatiku makin senang. Toh Robert pada akhirnya akan sadar kalau aku sedang mempermainkannya, dan ujung-ujungnya aku biasanya menyesal karena komentarnya makin tajam. Biasanya setelah itu, kami akan sama-sama menghela nafas dan menertawai situasi. Di antara segala bentuk persahabatan, ternyata ada juga yang terjalin karena seringnya berargumentasi dan bertukar pikiran. Aku dan Robert demikian.

Kurapihkan pakaianku dan merekatkan tali tas busur favoritku yang berwarna hijau dan bermotif daun. Sudah saatnya berangkat menuju lapangan panahan.
"Nek, saya titip Dean dulu ya. Mau olahraga dulu sebentar," pamitku pada nenek pengasuh putraku satu-satunya.
Kucium dan kuusap kepala Dean penuh sayang, lalu bergegas pergi. Panahan sudah menunggu. Hatiku bernyanyi gembira seperti kanak-kanak yang hendak pergi bermain seharian.

..........
BERSAMBUNG

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panahan di Range Batununggal Bandung Archery

Tempat Panahan Range Lodaya Bandung